Selasa, 26 Mei 2015

Ironi si dula

Terbangun aku di hulu subuh
Terbayang ayu dari kota
Duja seperti rembulan yang mintal dengan kecantikan

Aku si dula dari desa mengaguminya
Ia bagai asap dupa menebarkan wangi kayu cendana
tak akan hilang atau pun punah

Aku si dula dari desa mengaguminya
Dialah bunga seroja di telaga kota
Peri-peri bernyanyi di jendela rumah kayuku

Aku si dula dari desa mengaguminya
lembaran kertas mintal kutulis syair untuknya
di surau kecil ia bertaharah

Aku si dula pembawah dulang tepu ironi

Rabu, 13 Mei 2015

Madah Pengisap Lisong

Mendengarkan madah kemarin pagi yang ongok
Menghadirkan jujah berkepanjangan
Mengerabikkan hati yang bisu
Di gerobok kami menaru harap

Kami terhimpit di batu-batu yang dipecahkan oleh waktu
Sesaat terpecahnya kroto di oase tengah panas membakar
Tapi tak nampak pada kalian sang pengisap lisong

Nazi berjayah di negeri seberang
Sementara kita terkapar di jalan julung bumi
Di mana qaidah-qaidah di negeri garuda?
Di mana batas qanaat para raja-raja garuda?

Kami menanggung Namamu di terik matahari

Kaca Mata

Lalu-lalang di kaki tiang biru
Menatap masa di mana aku berdiri
Banyak juga cukong yang liar warnanya
Tuntunan tak di pakai lagi
Lewat melewati, sulit menyulitkan

Masuk aku dari pintu belakang
Tak heran seperti binatang-binatang jalang
Dan bau di mana-mana
Mungkin aku bagian dari mereka

Iba aku dalam dindingmu